Jumat, 22 Mei 2009

Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri
dan relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan
oleh: Abdul basit,S.Pd.I

A. Pendahuluan
Proses helenisme (pertemuan antara budayaYunani-Roma dengan Arab –Islam), terjadi dalam dua gelombang. Pertama, pertemuan dalam bentuk pemikiran, yaitu pemikiran filsafat Yunani masuk dan berpengaruh pada pemikiran Arab-Islam yang dimulai lewat proses penterjemahan, terjadi selama dua abad (750-950 M). kedua, pertemuan dalam bentuk kontak senjata, yakni dalam perang salib yang disusul serbuan tentara Hulagu ke Bagdad yang menutup sejarah panjang dinasti Bani Abbas, terjadi antara tahun 1095-1258 M. [1]
Factor penyebab kelesuan berpikir dan berijtihad di kalangan umat Islam sampai saat ini, Selain karena hilangnya kebanyakan khazanah ilmu pengetahuan Islam, serta kehancuran peradaban Islam di Baghdad, salah satu factor utamanya adalah disebabkan mereka tidak mau melihat dan memperhatikan filsafat. Sebaliknya, seperti ditulis al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.[2] Karena itu, untuk pengembangan dan kajian keilmuan Islam kontemporer, kita tidak bisa lagi berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global. Namun, yang dimaksud filsafat disini adalah sebuah metodologi atau epistemologi.
Dalam khazanah filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran, yakni bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir berdasarkan teks. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan.. Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Makalah ini mencoba untuk menggambarkan secara singkat tiga epistomologi Islam tersebut yang dirumuskan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid al-Jabiry dan bagaimana relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan.

B. Biografi Ringkas Muhammad ‘Abid Al-Jabiry
Muhammad ‘Abid al-Jabiry lahir di kota Fejij,Maroko tahun 1936. Mengajar sebagai dosen filsafat dan pemikiran Islam pada Fakultas Sastra Universitas Mohammed V Rabat. Diantara karya-karyanya adalah Fikr Ibn Khaldun, al-Ashabiyyah wa al-Daulah (1971) desertasi doktornya di Universitas tempat ia mengabdi, Adhwa Ala Musykil al-Ta’lim (1973), Madkhal Ila Falsafah al-Ulum, Min Ajl Ru’yah Taqaddumiyyah Lil Ba’adh Musykilatina al-Fikriyyah al-Tarbawiyyah( 1977), Takwin al-‘Aql al- Araby (1982), Bunyah al-‘Aql al-Arabi (1986), al-‘Aql al-Siyasi al-Arabi (1990), dan masih banyak lagi karyanya, baik dalam bentuk buku, makalah, tulisan dijurnal dan lain-lain.[3]
Daerah Maroko merupakan bekas daerah kekuasaan Perancis. Setelah merdeka, Negara Maroko menggunakan dua Bahasa resmi, Arab dan Perancis. Hal ini tentu saja memudahklan bagi sarjana-sarjana Maroko mengenal dan menguasai tradisi atau warisan keilmuan yang terdapat dalam bahasa Perancis. Hal ini turut dialami oleh al-Jabiry. Dia mulai berkenalan dengan tradisi pemikiran Perancis sejak masih kuliah di Universitas Muhammad al-Khamis, Rabat, Maroko. Pada akhir tahun 1950-an, pemikiran-pemikiran marxisme sedang berkembang di tanah Arab. Seperti diakuinya, al-Jabiry sendiri mengagumi pemikiran Marxisme. Sejumlah leteratur Marxisme yang berbahasa Perancis, ia baca, termasuk karya-karya Karl Marx sendiri dalam terbitan Perancis.

C. Epistemology ‘Abid Al-Jabiri
Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berkaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada intinya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek; dengan kata lain menyusun gambaran dalam akal tentang fakta di luar akal.[4]
Istilah epistemologi biasa dijumpai dalam bahasa filsafat, bahkan ia merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedang logos berarti ilmu. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa epistemologi merupakan suatu ilmu yang secara khusus membicarakan sifat operatif bagaimana suatu ilmu itu diperoleh. Adapun persoalan pokok dalam bidang ini, yaitu: dari mana sumber ilmu pengetahuan itu? , bagaimana metodenya?, dan bagaimana cara mengkaji kebenarannya atau mengukur validasinya?, karena manusia membutuhkan jawaban yang benar. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? [5]
Menurut al-Jabiry definisi epistemologi adalah sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era historis tertentu, yaitu struktur bawah sadarnya.[6]
Pemikiran-pemikiran epistemologi dalam Islam, menurut al-Jabiry dapat diklasifikasikan kepada tiga model ‘wilayah epistemology’, yaitu: bayani (eksplanatif), irfani (gnostik) dan burhani (demonstratif).

a. Bayani
Kata “bayani” berasal dari bahasa Arab, yang berarti penjelasan (eksplanasi). bagi Al-Jabiry, sistem epistemologi bayani adalah sistem yang paling awal dalam pemikiran Arab. Sistem ini sangat didominasi dalam ilmu-ilmu pokok seperti fiqh, tafsir, kalam, teori sastra non-filsafat.[7] Epistemologi bayani bersumber dari nash (al-Qur’an dan Hadis), qiyas dan ijma’.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafaz) dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.[8] Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamer , yakni sama-sama memabukkan.
Sistem epistemologi bayani ini menghasilkan pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan menentukan syarat-syarat produksi wacana. Al-Jabiry menyimpulkan bahwa sistem ini dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama, diskontinuitas atau keterpisahan (al-infishal), dan kedua, konsep kontigensi atau kemungkinan (al-tajwiz). Prinsip-prinsip tersebut ter-manifestasi dalam teori substansi individu (tubuh, tindakan, sensasi, dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tetapi tidak mempengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.[9]
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak, Adapun akal hanya menempati kedudukan sekunder, yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, bayani hanya bekerja pada tataran teks melebihi dataran akal. Oleh karena itu kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa baik pada dataran gramatikal dan struktur (nahwu, sharaf) maupun sastra (balagahah).
Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai media transformasi budaya dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu implikasinya, lafazd dan makna menempati posisi terhormat, terutama dalam diskursus usul fiqh. Melalui bayani penerapan analisis tekstual diharapkan dapat menggali landasan normative al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan wacana agama.[10]
Pemikiran ini muncul dari sebuah pemikiran apa yang disebutnya sebagai “epistemologi budaya”. Maksudnya, pembahasan difokuskan pada akar-akar dan dasar-dasar pengetahuan, yaitu dalam bentuknya sebagai sistem dan sebagai mekanisme penalaran dan produksi pengetahuan dalam satu budaya tertentu. Dalam konteks ini, al-Jabiry berangkat dari asumsi yang mengakui pluralisme budaya sebagai kenyataan yang mendasar, mengakui bahwa masing-masing kebudayaan melahirkan satu sistem bahasanya sendiri, dan bahwa sistem pengetahuan dalam satu kebudayaan pasti berbeda sedikit banyaknya dengan sistem pengetahuan dalam kebudayaan lainnya. Dan asumsi ini juga mengakui bahwa bahasa memainkan peran yang fundamental dalam perbedaan tersebut.
Al-Jabiry mengatakan bahwa bahasa Arab punya pengaruh yang sangat signifikan dalam membentuk pemikiran Islam-Arab dan mengarahkan segenap mekanisme dan prosedur penalarannya, meskipun itu bukan satu-satunya unsur pembentukannya. Nalar Arab adalah sebagai produk kebudayaan Islam-Arab yang terdiri dari tiga sistem pengetahuan atau epestime: episteme bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab, episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis, dan epistemology rasional (burhani) yang berasal dari Yunani. Ketika mengangkat tema hubungan antara bahasa dan pemikiran dalam Islam-Arab, al-Jabiry bermaksud menggaris bawahi salah satu episteme atau sistem pengetahuan yang membentuk pemikiran Arab, episteme yang diolah oleh sebuah sistem bahasa di mana pemikiran tersebut menemukan peran dan fungsinya.[11]
Dalam kaitannya dengan bahasa ini, bisa diamati karakteristek yang khas dalam pola-pola hubungan antara bahasa dengan pemikiran dalam kebudayaan Arab dalam beberapa tingkatan. Di antaranya yang terpenting adalah aspek material bahasa Arab dan pandangan dunia yang dibawanya, bentuk gramatikal dan karakter logisnya, unsur-unsur keindahan bahasa dan bentuk penalarannya, serta metodologi kajian ilmiah dan mekanisme rasionalitasnya.[12]
Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan “realitas”, maka persoalan pokok yang ada di dalamnya adalah sekitar masalah lafazh-makna, dan ushûl-furû’. Menurut al-Jabiry, persoalan lafaz makna mengandung dua aspek; teoritis dan praktis. Dari segi teori muncul tiga persoalan, (1) tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya (tauqif), (2) tentang analogi bahasa,(3) soal pemaknaan al-asmã alsyar’iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat, dan lainnya.[13]
Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya perdebatan antara kaum rasionalis dengan ahli hadis. Menurut Mu’tazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna asalnya. [14]
Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan Arab bahwa makna dan sistem berfikir lahir dari kata (teks), bukan teks yang lahir dari makna dan sistem berpikir. Ilmu nahwu (gramatika Arab) yang lahir dari asumsi ini, bertugas menjaga teks dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna. Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahwu bukan lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar, tetapi sekaligus juga berisi aturan-aturan berpikir, yang kemudian melahirkan pengetahuan bayani.[15]
Masalah kedua, tentang analogi bahasa, seperti kata nabîdz (perasan gandum) dengan khamr (perasan anggur), atau kata sãriq (pencuri benda) dengan nabasy (pencuri mayat) yang di kubur. Di sini para ulama memperbolehkan analogi, tapi hanya dari sisi logika bahasanya, bukan pada lafazd atau redaksinya. Sebab, masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna yang berbeda, sehingga jika di analogikan akan bisa merusak bahasa yang ada diantaranya.
Masalah ketiga, pemaknaan atas al-asmã al-syar’iyyah. Mu’tazilah berpendapat bahwa; pada beberapa hal, al-Qur’an bisa dimaknai lain dan pengertian yang berbeda, tidak harus sesuai dengan budaya Arab tempat ia diturunkan. Karena tak jarang al-Qur’an menngunakan istilah Arab, namun dimaknai berbeda dari makna asalnya. Sedangkan menurut al-Baqilani, al-Qur’an dimaknai harus sesuai dengan kebudayaan Arab. Karena al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan budaya Arab.[16]
Adapun hubungan kata-makna dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana syara’. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.
Dalam hubungannya dengan soal ushûl-furû, menurut al-Jabiry, ushûl disini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti, al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, tetapi pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses penggalian pengetahuan. Ushûl adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furû’. Peran ushul dalam hubungannya dengan furu’ ada tiga:
1. Ushûl sebagai sumber pengetahuan yang cara mendapatkannya dengan istinbat. Istinbat merupakan upaya menggali untuk mendapatkan sesuatu yang belum ada, sehingga nash berkedudukan sebagai sumber pengetahuan.
2. Ushûl sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya dengan qiyas, baik dengan qiyãs ‘illat seperti ahli fiqh. Atau qiyãs dalãlah seperti yang digunakan kaum teolog.
3. Ushûl sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan kaidah-kaidah ushûl al-fiqh.[17]

b. Irfani
Irfani (gnostik), kata ini semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang didapat lewat transformasi (naql) dan rasionalitas ( aql).[18]
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas rasio seperti burhani, tetapi pada kasyf atau intuisi, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan,[19] termasuk dalam praktek tersebut adalah kalangan sufisme, pemikiran Syafi’I, fisafat Isma’ili, filsafat iluminasi Timur, dan tafsir al-Qur’an yang bercorak sufistik. Sistem epistemologi irfani didasarkan atas adanya perbedaan antara yang batin atau manifest dan yang zahir atau laten. Hal yang bersifat batin memiliki posisi tertinggi dalam herarki pengetahuan irfani. [20]
Irfani sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kasyaf dan ilham dikalangan sufi dianggap lebih tinggi daripada pengetahuan biasa yang diperoleh melalui usaha manusia dengan indera dan akal.[21]
Pendekatan irfani adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan ketajaman dan penajaman hati nurani, yang dibangun melalui munãjat wa taqarrub ilallãh banyak melaksanakan ibadah masyrû’ah, tadabbur al-Qur’an, dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual. Di sini perlu penghayatan dan pengamalan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyyah, yakni rasa kemanusiaan yang timbul setelah banyak melakukan dalam munajat dan mujãhadah kepada Allah swt. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam munajat dan mujãhadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tidak ada lagi batas atau hijab.[22]
Melalui pendekatan irfani diharap dapat menangkap makna hakikat atau makna terdalam di balik teks dan konteks. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara paradigma burhani lebih melihat teks sebagai sesuatu yang berkaitan dengan konteks, maka paradigma irfani lebih melihat teks sebagai sebuah simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan social dan kecerdasan spiritual.
Dalam konteks dialektik agama dan pluralitas seni tradisi atau budaya lokal, pendekatan irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani, memiliki dua tugas penting yaitu: (1), membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks keagamaan (nushûsh al-diniyat); (2), membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.
Sesuai dengan sasaran bidik irfani yang esoteric, isu sentral irfan adalah zahir dan batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Teks keagamaan tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir ) tetapi juga yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.[23] Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafaz-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafaz menuju makna; sedangkan dalam irfani, seseorang justru berangkat dari makna menuju lafaz, dari batin menuju zahir. Menurut al-Jabiri, makna batin diungkap dengan cara I’tibar atau qiyas irfani. Contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syi’ah yang meyakini keunggulan keluarga Imam Ali r.a atas Q.S al-Rahman, 19-22.” Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu; di antara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah), sedang Hasan dan Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan.[24]
Sedangkan qiyas al-Qusyairi dalam ayat yang sama adalah, dalam hati ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja’ (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwãl al-shufiyah dan lathãif al-mutawaliyah.[25] Diantaranya ada batas yang tak terlampaui, yakni pengawasan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja’ dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan), sedang ahwãl dan lathãif dinisbatkan pada mutiara dan marjan.

c. Burhani
Al-Burhani (demonstrative), secara sederahana, bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi).[26]
Burhani adalah epistemologi yang didasarkan atas fakta yang disimpulkan, bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristotelis), tapi dia tidak hanya membatasi epistemologi ini hanya terhadap orang-orang yang mendasari analisanya pada logika. Perbedaannya dengan bayani yang membangun pemahaman tentang dunia berdasarkan prinsip diskontinutas dan kontingensi, dan ‘irfani yang mendasarkan pemahamannya pada prinsip korespodensi dan keserupaan, maka system epistemologi burhani didasarkan atas hubungan sebab akibat antara berbagai elemen, dengan demikian terciptalah gagasan tentang mungkinnya hukum alam. Al-Jabiry menyamakan sistem ini dengan rasioanlisme.[27]
Kebutuhan akan penggunaan metode burhani , didasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada; bahwa pada saat muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, Persia, India atau daerah pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikiah, Materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah ‘ zindiq’ . Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim merasa perlu mencari system berpikir rasional dan argument-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani, tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang belum dikenal sebelumnya. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakannya metode burhani adalah al-Kindi (806-875 M).[28]
Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Realitas tersebut meliputi realitas alam (kauniyyah), realitas sejarah (tãrîkhiyyah), realitas social (ijtimã’iyyah), maupun realitas budaya (tsaqãfiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks, berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks dari mana teks itu di baca dan ditafsirkan, sehingga pemahaman akan lebih kuat, untuk itu pemahaman terhadap realitas kehidupan social –keagamaan dan social keislaman menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio, burhani telah berjasa dalam mengembangkan filsafat Islam. Juga telah membantu perkembangan epistemologi lain, seperti bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan al-Gazali (1058-1111 M) lewat al-mustashfa fi ‘ulûm al-fiqh,[29] dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M) lewat uraian tentang wahdat al-wujûd.[30]
Al-Jabiry melukiskan kejadian yang dialami umat Islam dalam sejarah pemikiran Ibn Rusyd. Pada masa lalu, seperti yang dialami pada masa Ibn Rusyd, tradisi pemikiran Islam adalah: pertama, tradisi kalam dan filsafat beserta ilmu-ilmunya; kedua, tradisi fiqh dan ushul fiqh; ketiga, tradisi tasawuf teoritik. Bila ditinjau dari dasar-dasar epistemologinya, yakni dasar-dasar yang melandasi produksi pengetahuan, ketiga jenis pemikiran tersebut bermuara pada satu titik temu, absennya pendekatan ilmiah-rasionalisme, baik dalam bentuk parsial seperti dalam tradisi filsafat model Ibn Sina dan filsafat illuminasionis, maupun keseluruhan, seperti terlihat dalam tradisi kalam, baik asy’ari maupun mu’tazilah. Dan juga dalam fiqh yang didominasi metode jadali. dan qiyas yang sama-sama menggunakan analogi yang bersifat zhanni, cuma dugaan dan bukan keyakinan. Sementara dalam tradisi tasawuf, yang dikenal dengan metodologi irfani yang mengabaikan akal dan tidak mengakui metode burhan.[31]
Menurut al-Jabiry, absennya rasionalisme berarti terjadinya pengingkaran terhadap prinsip kausalitas, atau paling tidak hal tebut memarjinalkannya sebagai dasar berpikir yang diikuti secara ketat.
Menurut suhrawardi (1154-1192), kekurangan rasionalisme burhani antara lain, (1), bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani, (2), ada eksistensi di luar pikiran yang bisa di capai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani, seperti soal warna, bau, rasa . (3), prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut lain akan menggiring pada proses tanpa akhir. Jelaslah, deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.[32]

D. Relevansi dan mamfaatnya bagi ilmu pengetahuan Islam.
Melihat peta pemikiran epistemologi al-Jabiry tersebut dapat bermamfaat bagi kita dalam beberapa hal:
1. pijakan epistemologi sebagai metode berpikir akan menentukan rincian produk berpikir seorang tokoh atau suatu aliran. Pengetahuan tentang ini akan bisa menjelaskan secara lebih memadai akar perbedaan, ketegangan dan konflik yang sering terjadi, semisal antara mutakallim dengan sufi atau mutakallim dengan filsuf Islam, yeng sering berakhir dengan pengkafiran. Ketegangan tersebut bisa dijelaskan secara epistemologis sebagai ketegangan pola pikir bayani dengan ‘irfani dan burhani, atau ketegangan pola pikir dalam agama yang lebih banyak mengikatkan diri pada teks (nash) dengan pola pikir yang lebih banyak mengapresiasi intuisi para sufi dan rasio para filsuf. Tentu saja, pola pikir tesebut tidak harus dipahami secara ketat, karena penggunaan teks, intuisi, atau rasio hanya merupakan tendensi kuat, atau proporsi terbanyak yang diberikan dalam pengertian bahwa tidak ada satu sekte atau aliran pun yang menafikan otoritas teks keagamaan.
Sesungguhnya tidak ada satu sekte atau aliran pun, sadar atau tidak, yang tidak sama sekali menggunakan rasio dalam memahami nash, meski dalam porsi yang berbeda-beda. Ini ditunjukkan dengan adanya polarisasi dalam Islam antara ahl al-hadist dan ahl ar-ra’yi. Oleh karena itu, dalam konteks diskusi tentang akal dan wahyu, suatu isu terpenting dalam filsafat Islam, perkembangan tiga epistemologi ini, bisa menjelaskan bagaimana masing-masing aliran memberikan porsi akal dalam memahami wahyu. Umat Islam dapat dengan mudah melakukan pembaharuan pemikiran, dan melakukan pembaharuan itu sendiri berpedoman pada tiga epistemologi tersebut.
Tradisi kritik epistemology akan membuka ruang “kritisisme” terhadap pengetahuan yang sudah matang, termasuk pula pemahaman mengenai agama. Kritik atas kritik kebenaran harus terus berlangsung karena memang tidak ada kebenaran yang absolute, termasuk kebenaran mengenai pengetahuan dan agama.
2. Pemetaan ini juga bisa menjelaskan sekaligus proses terbentuknya disiplin-disiplin ilmu Islam dengan metode dan cara kerjanya masing-masing. Ushul fiqh sebagai bagian dari epistemology bayani. Dengan landasan epistemology ini, maka nash al-Qur’an menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian pada dasarnya tidak ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan agama.







E. Kesimpulan .

Dalam khazanah filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran, yakni bayani, ‘irfani dan burhani.
Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir berdasarkan teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran, sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi ter-amankannya otoritas teks tersebut.
Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, berbeda dengan sasaran bidik bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric atau bagian batin teks, dan karena itu rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut.
Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Perbandingan ketiga epistemology ini, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non-fisik atas realitas fisik (qiyãs al-ghãib alã al-syãhid) atau furû kepada asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani pada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat); burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Ketiga model epistemology tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh (hukum) dan teologi, irfani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme di samping kelebihannya untuk memahami orang lain, dan burhani telah menyampaikan filsafat dalam puncak pencapaiannya.



Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam”, dalam buku Filsafat Islam
Kajian Ontologis, Efistemologi, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql al-Arabî, Beirut:Al-Markaz al-
Tsaqafah al-Araby, 1990.
-------------, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso, Yogyakarta:LKis,2000.
-------------, Formasi Nalar Arab, terj.Imam Khoiri, Yogyakarta:IRCiSoD, 2003.
-------------, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1991.
Al-Qusyairi, Lathãif al-Isyãrat, Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah,1981.
Bakhtar, Amtsal, Filsafat Agama, Jakarta:Logos wacana Ilmu, 1997.
Muthahhari, Murthadha, Tema-Tema Filsafat Islam, Bandung:Mizan,1993.
Shofan, Muhammad, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, Jawa Timur: Universitas
Muhammadiyyah Gresik-UMG Press, 2006.
Soleh, A.Khodori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2004.
Wardani. “ Filsafat Islam: Pengertian, Sejarah Pembagian, dan tema-tema Pokok”,
Jurnal An-Nûr, VolI, No.5 September 2006.
Yazdi, Mehdi Hairi, Ilmu Hudhuri, terj.,M.Ahsin, Bandung, Mizan,1994.






[1] A.Khodori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2004),hal.3
[2] Muhammad Abid al-Jabiry, Bunyah al-‘Aql al-Araby, (Beirut:Al-Markaz al-Tsaqafah al-Araby, 1990) hal.497-498.

[3] Muhammad Abed al-Jabiry, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta:LKis,2000), hal.xiii-xvi.
[4] Amtsal Bakhtar, Filsafat Agama, (Logos wacana Ilmu,Jakarta, 1997), hal.37
[5] Amin Abdullah, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam”, dalam buku Filsafat Islam Kajian Ontologis, Efistemologi, Aksiologis,Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992),hal.28
[6] Muhammad Abid al-Jabiry, Formasi Nalar Arab, terj.Imam Khoiri, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2003) hal.64
[7] Muhammad Abid al-Jabiry, Bunyah al-‘Aql al-Araby, hal.13
[8] Ibid,530
[9] Muhammad Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Jawa Timur: Universitas Muhammadiyyah Gresik-UMG Press, 2006) hal.369
[10] Ibid., hal.370
[11] Muhammad Abed al-Jabiry, Post Tradisionalisme Islam, hal. 59.
[12] Ibid.
[13] A.Khodori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2004),hal.184
[14]Muhammad Abid Al-Jabiry, Bunyah, hal.42
[15] Muhammad Abid Al-jabiry, Takwin al-‘Aql al-Arabi , (Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1991) hal.90
[16] Muhammad Abid al-Jabiry, Bunyah, hal.58.
[17] Ibid,113-116.
[18] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj.,M.Ahsin, (Bandung, Mizan,1994), hal.47-48.
[19] Ahmad Khoderi Soleh, hal. 294.
[20] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah, hal.251.
[21] Wardani. “ Filsafat Islam: Pengertian, Sejarah Pembagian, dan tema-tema Pokok”, Jurnal An-Nur, VolI, No.5 September 2006, hal 280.
[22] Muhammad Abid al-Jabiry, Bunyah, hal. 251
[23] Ibid, 275
[24]Ibid, 306
[25] Al-Qusyairi, Lathãif al-Isyãrat, (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah,1981) hal.507
[26] Ibid,.383
[27] Muhammad Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, hal 374.
[28] A.Khudori sholeh, Wacana baru Filsafat Islam, hal.221
[29] Muhammad Abid al-Jabiry, Bunyah, hal. 438
[30] Ibid, hal. 487
[31] Muhammad Abid al-Jabiry, Post Tradisionalisme Islam, 151.
[32] Murthadha Muthahhari, Tema-Tema Filsafat Islam, (Bandung:Mizan,1993),hal.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar